Minggu, 29 November 2015

KEARIFAN LOKAL

KEARIFAN LOKAL PANDEGLANG
“ KOTA SANTRI DAN KOTA WISATA”
OLEH : AYU FERGY LESTARIE
Kearifan lokal terdiri dari dua kata, yakni kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan dan lokal (local) berarti tempat. Kearifan lokal adalah suatu kegiatan atau budaya yang terdapat pada suatu tempat yang mana masyarakat pada suatu tempat tersebut meyakini dan melakukan apa yang menjadi hal yang sudah turun-temurun tersebut.
Kearifan lokal pada suatu daerah tentulah berbeda-beda, hal ini disebabkan karena pada setiap daerah memiliki kerifan lokal yang berbeda dari daerah satu dengan daerah yang lainnya yang mana perbedaan ini didasarkan pada latar belakang, suku budaya, dan adat istiadat yang berbeda-beda pula. Jangankan didaerah lain, terkadang diprovinsi kecil seperti provinsi banten ini pun memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda. Di dalam provinsi banten ini terdapat beberapa kota/kabupaten yang ada di dalamnya, yaitu kota Serang, Cilegon, Pandeglang, Tangerang dan Tangerang Selatan. Serta kabupaten yang meliputi kabupaten Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tengerang. Semua kota/kabupaten tersebut memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda karena pada keempat kota/kabupaten tersebut masing-masing memiliki suku, bahasa, budaya, dan adat istiadat yang berbeda-beda pula.
Menurut Staatsblad Nederlands Indie No. 81 tahun 1828, Keresidenan Banten dibagi tiga kabupaten: Kabupaten Utara yaitu Serang, Kabupaten Selatan yaitu Lebak dan Kabupaten Barat yaitu Caringin.
Kabupaten Serang dibagi lagi menjadi 11 (sebelas) kewedanaan. Kesebelas kewedanaan tersebut yaitu: Kewedanaan Serang (Kecamatan Kalodian dan Cibening), Kewedanaan Banten (Kecamatan Banten, Serang dan Nejawang), Kewedanaan Ciruas (Kecamatan Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Cilegon (Kecamatan Terate, Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Tanara (Kecamatan Tanara dan Pontang), Kewedanaan Baros (Kecamatan Regas, Ander dan Cicandi), Kewedanaan Kolelet (Kecamatan Pandeglang dan Cadasari) Kewedanaan Ciomas (Kecamatan Ciomas Barat an Ciomas Utara) dan Kewedanaan Anyer (tidak dibagi kecamatan).
Menurut sejarah, pada tahun 1089 Banten terpaksa harus menyerahkan wilayahnya yaitu Lampung kepada VOC (Batavia). Saat itu Banten dipimpin oleh Sultan Muhamad menyusun strategi untuk melawan kekuasaan VOC. Sultan Muhamad menjadikan Pandeglang sebagai wilayah untuk menyusun kekuatan. Kekuatan kesultanan dipencar kepelosok Pandeglang seperti di kaki gunung Karang dan di pantai.
Pandeglang dalam percaturan sejarah kesultanan Banten telah terbukti merupakan daerah yang strategis. Hal ini bisa terlihat dari berbagai peninggalan sejarah yang terdapat di wilayah Pandeglang. Semua itu bukan hanya membekas pada benda yang berwujud, tapi juga membekas pada kultur kehidupan masyarakat Pandeglang.
Peninggalan sejarah kesultanan Banten masih nampak terlihat dari seni budaya yang ada di Pandeglang. Misalnya saja, Pandeglang merupakan Kota Santri dan Pandeglang terkenal dengan daerah yang historis, patriotis dan agamis. Julukan ini tidak serta merta timbul dengan sendirinya, akan tetapi merupakan bentangan sejarah telah mencatatnya.
Saat ini Pandeglang tetap merupakan wilayah yang strategis di wilayah Provinsi Banten. Sejarah kembali mencatat, Pandeglang dengan tokoh-tokoh masyarakatnya memberi andil besar dalam pembentukan Provinsi Banten. Sejarah Pandeglang mencatat juga, bahwa saat dipimpin oleh Bupati H. A. Dimyati Natakkusumah, Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Swasta di Kabupaten Pandeglang Bebas Biaya Sekolah dan pada tahun 2007 pembangunan sarana pendidikan dibangun dengan menggunakan rangka baja. Kembali kepada sejarah terbentuknya Kabupaten Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874, tanah-tanah gubernur kecuali Bativia dan Keresidenan Priangan telah Banten telah ditentukan, bahwa:
a. Jabatan Kliwon pada Bupati dan Patih dari Afdeling Anyer, Serang dan Keresidenan Banten dihapuskan.
b. Bupati mempunyai pembantu, yaitu mantri Kabupaten dengan gaji 50 gulden.
c. Kepala Distrik mempunyai gelar jabatan wedana dan Onder Distrik mempunyai jabatan Asisten Wedana.
Berdasarkan Staatsblad 1874 NO. 73 Ordonansi tanggal 1 Maret 1874 mulai berlaku 1 April 1874 menyebutkan pembagian daerah, diantaranya Kabupaten Pandeglang dibagi 9 distrik atau kewedanaan. Pembagian ini menjadi Kewedanaan Pandeglang, Baros, Ciomas, Kolelet, Cimanuk, Caringin, Panimbang, Menes dan Cibaliung.
Menurut data tersebut di atas, Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874 telah ada pemerintahan. Lebih jelas lagi dalam ordonansi 1877 Nomor 224 tentang batas-batas keresidenan Banten, termasuk batas-batas Kabupten Pandeglang dalam tahun 1925 dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus 1925 nomor XI. Maka jelas Kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri tidak di bawah penguaasaan Keresidenan Banten.
Dari fakta-fakta tersebut di atas dapat diambil beberapa alternatif, yaitu pada tahun 1828 Pandeglang sudah merupakan pusat pemerintahan distrik. Pada tahun 1874 Pandeglang merupakan kabupaten. Pada tahun 1882 Pandeglang merupakan kabupaten dan distrik kewedanaan. Dan pada tahun 1925 kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri. Atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, maka disepakati bersama bahwa tanggal 1 April 1874 ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Pandeglang.
Sejarah Caringin dan Pandeglang.
Seperti kita ketahui bersama bersama bahwa pada tahun 1883 pernah terjadi letusan gunung Krakatau yang menghancurkan Caringin. Waktu itu Caringin merupakan ibu kota Kabupaten Banten Barat.
Setelah Caringin luluh lantak pusat ibu kota dipindah ke Pandeglang dan berganti nama menjadi Kabupaten Pandeglang.
Caringin kini hanya sebuah desa, meski sejak itu Caringin terdegradasi menjadi desa, bagi perjalanan sejarah Banten, Caringin tetaplah daerah penting. Caringin, menurut Syaukatuddin yang mengutip dari para kasepuhan, berasal dari kata beringin, yang berarti ’pohon rindang tempat berteduh’.
Mengikuti perkembangan pembagunan Caringin mulai ramai kembali dan pada tahun 2006 terbentuklan Kabupaten Caringin.
Pada tahun 2006 Kabupaten Caringin adalah salah satu calon wilayah otonom di Provinsi Banten. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Pandeglang. Rencana ini berawal dari keinginan warga di wilayah Barat Kabupaten Pandeglang untuk mensejahterakan masyarakat.
Pada 14 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pandeglang menyetujui terbentuknya Kabupaten Caringin & Kabupaten Cibaliung. Calon kabupaten otonom ini terdiri atas 7 kecamatan, yakni Kecamatan Labuan, Kecamatan Carita, Kecamatan Pagelaran, Kecamatan Jiput, Kecamatan Cikedal, dan Kecamatan Sukaresmi. Wilayah ini berpenduduk sekitar 208.138 jiwa.
Diperjalanan proses peresmian dilakukan pengkajian dan disimpulkan jika Kabupaten Cibaliung dan Caringin mendapat persetujuan maka kemungkinan hal tersebut akan mematikan Kabupaten Induk-nya. Maka sesuai Undang-undang pemekaran wilayah tersebut tidak di perbolehkan mematikan daerah Induknya. Menurut beberapa pakar otonomi mungkin yang dapat dilakukan adalah dengan hanya menyetujui salah satu daerah pemekaran saja diantara dua wilayah yang akan di mekarkan tersebut dan yang disetujui hanya Kabupaten Caringin.
Gunung Karang
Salah satu kawasan wisata Gunung Karang merupakan kawasan yang memiliki 3 objek kunjungan wisata. Kenapa bersifat spiritual , karena salah satu objek wisata ini biasa di kunjungi dengan tujuan berziarah.
Kunjungan pertama disebut Sumur Tujuh.
Objek kunjungan kedua, Kolam Renang Cikoromoi yang dilengkapi tempat penziarahan Cibulakan. Objek penziarahan itu menjadi menarik diamati pengunjung, karena dikolam pemandiannya terdapat Batu Qur’an, batu berukuran besar terletak di dasar kolam dan bertuliskan huruf-huruf arab. Diperkirakan batu bertuliskan huruf arab itu sudah berusia lebih 5 abad.
Dan objek kunjungan yang ketiga disebut pemandian air panas Cisolong.
Dibandingkan dengan objek kunjugan kolam renang Cikoromoi, atau pemandian air panas Cisolong, objek kunjungan Batu Quran dan Sumur Tujuh lebih sering dikunjungi umat Islam pada hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, 1 Muharam, menjelang Ramadhan, Idul Fitri atau Idul Adha. Ribuan umat Islam selalu mengunjungi kedua objek wisata spritual itu di setiap liburan, karena sejarah keberadaan objek wisata Sumur Tujuh dan Batu Qur’an, konon kabarnya, erat kaitannya dengan kegiatan keluarga Sultan Banten dalam penyebaran Islam di abad ke 15.
Lokasi pemandian Batu Quran terletak di kaki Gunung Karang, tepatnya di Desa Kadubumbang Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Lokasi pemandian memang sangat sederhana. Hanya ada sebuah kolam di situ. Tetapi, jika liburan panjang tiba, antrian orang berdatangan ke pemandian tersebut.
Pengunjung selalu dibuat takjub, karena menurut cerita kuncen, petugas penjaga pemandian Cibulakan, air kolam pemandian - yang tingginya hanya sekitar 1,5 meter dari dasar kolam - tak bisa kering sekalipun musim kemarau berlangsung panjang. Prof Dr Muarif Ambari dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga pernah mempelajari bagaimana mengeringkan kolam Cibulakan, kemudian Batu Quran yang ada diteliti asal muasalnya. Ternyata sulit. Pasalnya, air Cibulakan tak mudah kering kendati disedot pipa air bertekanan ratusan kubik perjam. Akibat itu para ahli sejarah kepurbakalaan yakin bahwa batu bertulisan huruf-huruf al-quran yang ada di batu-batu di dasar kolam Cibulakan, sengaja dibuat oleh pengikut Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu telah dijadikan media pengikut Sultan untuk warga Banten tentang bagaimana menghormati air untuk diminum, bagaimana menghormati air untuk dijadikan wudhu, dan bagaimana menjadikan air sebagai modal kehidupan.
Batu-batu berhuruf arab itu, lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di pinggiran batu tersebut, terdapat sejumlah mata air yang deras dan bening airnya. Di lokasi itulah pula, pengunjung sering berlama-lama berendam.
“Ada yang sangat yakin, jika berendam di sekitar batu quran tersebut, penyakit kulit yang ada ditubuh akan mudah disembuhkan. Ada juga yang yakin, sering berendam di kolam Cibulakan kulit akan menjadi lebih bersih karena air kolam Cibulakan mengandung unsur obat kimia yang bisa menghaluskan kulit. Ada juga yang yakin, air kolam Cibulakan bisa dijadikan media penyembuhan beragam bentuk penyakit dalam,” ujar Haji Achmad dari Warung Gunung Kabupaten Lebak yang mengaku sering mengajak santri-santri pesantrennya mengaji bersama di mushollah yang ada di pinggiran kolam Cibulakan.
Batu Quran yang ada di kolam Cibulakan merupakan peninggalan Ki Mansyur, seorang ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.Ki Mansyur - yang juga disebut Maulana Mansyur oleh warga masyarakat Banten - memang salah seorang ulama pemberani, cerdas, piawai dalam memainkan alat-alat kesenian bernafaskan Islam. Di masa kejayaan Sultan Hasanudin, Ki Mansyur yang juga cakap dalam ilmu pertanian serta komunikasi diserahi tugas untuk menjaga kawasan Islam Banten Selatan dan berdomisili di Cikaduen.
Selama masa penugasannya, Ki Mansyur mewariskan banyak ilmunya kepada warga Banten Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernafaskan Islam yang ditinggalkannya dan hingga kini masih lestari adalah seni Rampak Bedug, kesenian tradisional yang mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di bulan Ramadhan untuk membangunkan warga makan sahur. Kesenian itu juga digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan massa menjelang Ki Mansyur menyampaikan pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki Mansyur juga mewariskan ilmu debus, kesenian yang inti sarinya bersumber dari Al-quran, untuk penyebaran Islam. Kini Ki Mansyur - bersama istrinya - bersemayan di Cikaduen.
Setiap libur, terutama sekali jika Maulid Nabi Muhammad tiba, puluhan bus ukuran besar dari berbagai kota parkir di lokasi wisata penziarahan makam Ki Mansyur di Cikaduen, Pandeglang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar