KEARIFAN LOKAL PANDEGLANG
“ KOTA SANTRI DAN KOTA WISATA”
OLEH
: AYU FERGY LESTARIE
Kearifan
lokal terdiri dari dua kata, yakni kearifan (wisdom) yang berarti kebijaksanaan
dan lokal (local) berarti tempat. Kearifan lokal adalah suatu kegiatan atau
budaya yang terdapat pada suatu tempat yang mana masyarakat pada suatu tempat
tersebut meyakini dan melakukan apa yang menjadi hal yang sudah turun-temurun
tersebut.
Kearifan
lokal pada suatu daerah tentulah berbeda-beda, hal ini disebabkan karena pada
setiap daerah memiliki kerifan lokal yang berbeda dari daerah satu dengan
daerah yang lainnya yang mana perbedaan ini didasarkan pada latar belakang,
suku budaya, dan adat istiadat yang berbeda-beda pula. Jangankan didaerah lain,
terkadang diprovinsi kecil seperti provinsi banten ini pun memiliki kearifan
lokal yang berbeda-beda. Di dalam provinsi banten ini terdapat beberapa
kota/kabupaten yang ada di dalamnya, yaitu kota Serang, Cilegon, Pandeglang,
Tangerang dan Tangerang Selatan. Serta kabupaten yang meliputi kabupaten
Serang, Pandeglang, Lebak, dan Tengerang. Semua kota/kabupaten tersebut
memiliki kearifan lokal yang berbeda-beda karena pada keempat kota/kabupaten
tersebut masing-masing memiliki suku, bahasa, budaya, dan adat istiadat yang
berbeda-beda pula.
Menurut
Staatsblad Nederlands Indie No. 81 tahun 1828, Keresidenan Banten dibagi tiga
kabupaten: Kabupaten Utara yaitu Serang, Kabupaten Selatan yaitu Lebak dan
Kabupaten Barat yaitu Caringin.
Kabupaten
Serang dibagi lagi menjadi 11 (sebelas) kewedanaan. Kesebelas kewedanaan
tersebut yaitu: Kewedanaan Serang (Kecamatan Kalodian dan Cibening), Kewedanaan
Banten (Kecamatan Banten, Serang dan Nejawang), Kewedanaan Ciruas (Kecamatan
Cilegon dan Bojonegara), Kewedanaan Cilegon (Kecamatan Terate, Cilegon dan
Bojonegara), Kewedanaan Tanara (Kecamatan Tanara dan Pontang), Kewedanaan Baros
(Kecamatan Regas, Ander dan Cicandi), Kewedanaan Kolelet (Kecamatan Pandeglang
dan Cadasari) Kewedanaan Ciomas (Kecamatan Ciomas Barat an Ciomas Utara) dan
Kewedanaan Anyer (tidak dibagi kecamatan).
Menurut
sejarah, pada tahun 1089 Banten terpaksa harus menyerahkan wilayahnya yaitu
Lampung kepada VOC (Batavia). Saat itu Banten dipimpin oleh Sultan Muhamad
menyusun strategi untuk melawan kekuasaan VOC. Sultan Muhamad menjadikan
Pandeglang sebagai wilayah untuk menyusun kekuatan. Kekuatan kesultanan
dipencar kepelosok Pandeglang seperti di kaki gunung Karang dan di pantai.
Pandeglang
dalam percaturan sejarah kesultanan Banten telah terbukti merupakan daerah yang
strategis. Hal ini bisa terlihat dari berbagai peninggalan sejarah yang
terdapat di wilayah Pandeglang. Semua itu bukan hanya membekas pada benda yang
berwujud, tapi juga membekas pada kultur kehidupan masyarakat Pandeglang.
Peninggalan
sejarah kesultanan Banten masih nampak terlihat dari seni budaya yang ada di
Pandeglang. Misalnya saja, Pandeglang merupakan Kota Santri dan Pandeglang
terkenal dengan daerah yang historis, patriotis dan agamis. Julukan ini tidak
serta merta timbul dengan sendirinya, akan tetapi merupakan bentangan sejarah
telah mencatatnya.
Saat
ini Pandeglang tetap merupakan wilayah yang strategis di wilayah Provinsi
Banten. Sejarah kembali mencatat, Pandeglang dengan tokoh-tokoh masyarakatnya
memberi andil besar dalam pembentukan Provinsi Banten. Sejarah Pandeglang
mencatat juga, bahwa saat dipimpin oleh Bupati H. A. Dimyati Natakkusumah,
Sekolah Dasar dan Madrasah Ibtidaiyah Negeri dan Swasta di Kabupaten Pandeglang
Bebas Biaya Sekolah dan pada tahun 2007 pembangunan sarana pendidikan dibangun
dengan menggunakan rangka baja. Kembali kepada sejarah terbentuknya Kabupaten
Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874, tanah-tanah gubernur kecuali Bativia dan
Keresidenan Priangan telah Banten telah ditentukan, bahwa:
a.
Jabatan Kliwon pada Bupati dan Patih dari Afdeling Anyer, Serang dan
Keresidenan Banten dihapuskan.
b.
Bupati mempunyai pembantu, yaitu mantri Kabupaten dengan gaji 50 gulden.
c.
Kepala Distrik mempunyai gelar jabatan wedana dan Onder Distrik mempunyai
jabatan Asisten Wedana.
Berdasarkan
Staatsblad 1874 NO. 73 Ordonansi tanggal 1 Maret 1874 mulai berlaku 1 April
1874 menyebutkan pembagian daerah, diantaranya Kabupaten Pandeglang dibagi 9
distrik atau kewedanaan. Pembagian ini menjadi Kewedanaan Pandeglang, Baros, Ciomas,
Kolelet, Cimanuk, Caringin, Panimbang, Menes dan Cibaliung.
Menurut
data tersebut di atas, Pandeglang sejak tanggal 1 April 1874 telah ada
pemerintahan. Lebih jelas lagi dalam ordonansi 1877 Nomor 224 tentang
batas-batas keresidenan Banten, termasuk batas-batas Kabupten Pandeglang dalam
tahun 1925 dengan keputusan Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 14 Agustus
1925 nomor XI. Maka jelas Kabupaten Pandeglang telah berdiri sendiri tidak di
bawah penguaasaan Keresidenan Banten.
Dari
fakta-fakta tersebut di atas dapat diambil beberapa alternatif, yaitu pada
tahun 1828 Pandeglang sudah merupakan pusat pemerintahan distrik. Pada tahun
1874 Pandeglang merupakan kabupaten. Pada tahun 1882 Pandeglang merupakan
kabupaten dan distrik kewedanaan. Dan pada tahun 1925 kabupaten Pandeglang
telah berdiri sendiri. Atas dasar kesimpulan-kesimpulan tersebut di atas, maka
disepakati bersama bahwa tanggal 1 April 1874 ditetapkan sebagai hari jadi
Kabupaten Pandeglang.
Sejarah Caringin dan Pandeglang.
Seperti
kita ketahui bersama bersama bahwa pada tahun 1883 pernah terjadi letusan
gunung Krakatau yang menghancurkan Caringin. Waktu itu Caringin merupakan ibu
kota Kabupaten Banten Barat.
Setelah
Caringin luluh lantak pusat ibu kota dipindah ke Pandeglang dan berganti nama
menjadi Kabupaten Pandeglang.
Caringin
kini hanya sebuah desa, meski sejak itu Caringin terdegradasi menjadi desa,
bagi perjalanan sejarah Banten, Caringin tetaplah daerah penting. Caringin,
menurut Syaukatuddin yang mengutip dari para kasepuhan, berasal dari kata
beringin, yang berarti ’pohon rindang tempat berteduh’.
Mengikuti
perkembangan pembagunan Caringin mulai ramai kembali dan pada tahun 2006
terbentuklan Kabupaten Caringin.
Pada
tahun 2006 Kabupaten Caringin adalah salah satu calon wilayah otonom di
Provinsi Banten. Wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Pandeglang.
Rencana ini berawal dari keinginan warga di wilayah Barat Kabupaten Pandeglang
untuk mensejahterakan masyarakat.
Pada
14 Desember 2006, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pandeglang
menyetujui terbentuknya Kabupaten Caringin & Kabupaten Cibaliung. Calon
kabupaten otonom ini terdiri atas 7 kecamatan, yakni Kecamatan Labuan,
Kecamatan Carita, Kecamatan Pagelaran, Kecamatan Jiput, Kecamatan Cikedal, dan
Kecamatan Sukaresmi. Wilayah ini berpenduduk sekitar 208.138 jiwa.
Diperjalanan
proses peresmian dilakukan pengkajian dan disimpulkan jika Kabupaten Cibaliung
dan Caringin mendapat persetujuan maka kemungkinan hal tersebut akan mematikan
Kabupaten Induk-nya. Maka sesuai Undang-undang pemekaran wilayah tersebut tidak
di perbolehkan mematikan daerah Induknya. Menurut beberapa pakar otonomi
mungkin yang dapat dilakukan adalah dengan hanya menyetujui salah satu daerah pemekaran
saja diantara dua wilayah yang akan di mekarkan tersebut dan yang disetujui
hanya Kabupaten Caringin.
Gunung Karang
Salah
satu kawasan wisata Gunung Karang merupakan kawasan yang memiliki 3 objek
kunjungan wisata. Kenapa bersifat spiritual , karena salah satu objek wisata
ini biasa di kunjungi dengan tujuan berziarah.
Kunjungan pertama disebut Sumur
Tujuh.
Objek
kunjungan kedua, Kolam Renang Cikoromoi yang dilengkapi tempat penziarahan
Cibulakan. Objek penziarahan itu menjadi menarik diamati pengunjung, karena
dikolam pemandiannya terdapat Batu Qur’an, batu berukuran besar terletak di
dasar kolam dan bertuliskan huruf-huruf arab. Diperkirakan batu bertuliskan
huruf arab itu sudah berusia lebih 5 abad.
Dan
objek kunjungan yang ketiga disebut pemandian air panas Cisolong.
Dibandingkan
dengan objek kunjugan kolam renang Cikoromoi, atau pemandian air panas
Cisolong, objek kunjungan Batu Quran dan Sumur Tujuh lebih sering dikunjungi
umat Islam pada hari-hari besar Islam, seperti Maulid Nabi Muhammad, 1 Muharam,
menjelang Ramadhan, Idul Fitri atau Idul Adha. Ribuan umat Islam selalu
mengunjungi kedua objek wisata spritual itu di setiap liburan, karena sejarah
keberadaan objek wisata Sumur Tujuh dan Batu Qur’an, konon kabarnya, erat
kaitannya dengan kegiatan keluarga Sultan Banten dalam penyebaran Islam di abad
ke 15.
Lokasi
pemandian Batu Quran terletak di kaki Gunung Karang, tepatnya di Desa
Kadubumbang Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang. Lokasi pemandian memang
sangat sederhana. Hanya ada sebuah kolam di situ. Tetapi, jika liburan panjang
tiba, antrian orang berdatangan ke pemandian tersebut.
Pengunjung
selalu dibuat takjub, karena menurut cerita kuncen, petugas penjaga pemandian
Cibulakan, air kolam pemandian - yang tingginya hanya sekitar 1,5 meter dari
dasar kolam - tak bisa kering sekalipun musim kemarau berlangsung panjang. Prof
Dr Muarif Ambari dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional juga pernah
mempelajari bagaimana mengeringkan kolam Cibulakan, kemudian Batu Quran yang
ada diteliti asal muasalnya. Ternyata sulit. Pasalnya, air Cibulakan tak mudah
kering kendati disedot pipa air bertekanan ratusan kubik perjam. Akibat itu
para ahli sejarah kepurbakalaan yakin bahwa batu bertulisan huruf-huruf
al-quran yang ada di batu-batu di dasar kolam Cibulakan, sengaja dibuat oleh
pengikut Sultan Banten dalam rangka syiar Islam. Batu-batu itu telah dijadikan
media pengikut Sultan untuk warga Banten tentang bagaimana menghormati air
untuk diminum, bagaimana menghormati air untuk dijadikan wudhu, dan bagaimana menjadikan
air sebagai modal kehidupan.
Batu-batu
berhuruf arab itu, lebarnya hanya sekitar 2 meter. Di pinggiran batu tersebut,
terdapat sejumlah mata air yang deras dan bening airnya. Di lokasi itulah pula,
pengunjung sering berlama-lama berendam.
“Ada
yang sangat yakin, jika berendam di sekitar batu quran tersebut, penyakit kulit
yang ada ditubuh akan mudah disembuhkan. Ada juga yang yakin, sering berendam
di kolam Cibulakan kulit akan menjadi lebih bersih karena air kolam Cibulakan
mengandung unsur obat kimia yang bisa menghaluskan kulit. Ada juga yang yakin,
air kolam Cibulakan bisa dijadikan media penyembuhan beragam bentuk penyakit
dalam,” ujar Haji Achmad dari Warung Gunung Kabupaten Lebak yang mengaku sering
mengajak santri-santri pesantrennya mengaji bersama di mushollah yang ada di
pinggiran kolam Cibulakan.
Batu
Quran yang ada di kolam Cibulakan merupakan peninggalan Ki Mansyur, seorang
ulama terkenal di jaman kesultanan Banten abad ke-15.Ki Mansyur - yang juga
disebut Maulana Mansyur oleh warga masyarakat Banten - memang salah seorang
ulama pemberani, cerdas, piawai dalam memainkan alat-alat kesenian bernafaskan
Islam. Di masa kejayaan Sultan Hasanudin, Ki Mansyur yang juga cakap dalam ilmu
pertanian serta komunikasi diserahi tugas untuk menjaga kawasan Islam Banten
Selatan dan berdomisili di Cikaduen.
Selama
masa penugasannya, Ki Mansyur mewariskan banyak ilmunya kepada warga Banten
Selatan. Salah satu ilmu kesenian bernafaskan Islam yang ditinggalkannya dan
hingga kini masih lestari adalah seni Rampak Bedug, kesenian tradisional yang
mulanya digunakan warga Pandeglang hanya di bulan Ramadhan untuk membangunkan
warga makan sahur. Kesenian itu juga digunakan sebagai alat untuk mengumpulkan
massa menjelang Ki Mansyur menyampaikan pesan-pesan atau tugas kepada warga. Ki
Mansyur juga mewariskan ilmu debus, kesenian yang inti sarinya bersumber dari
Al-quran, untuk penyebaran Islam. Kini Ki Mansyur - bersama istrinya -
bersemayan di Cikaduen.
Setiap
libur, terutama sekali jika Maulid Nabi Muhammad tiba, puluhan bus ukuran besar
dari berbagai kota parkir di lokasi wisata penziarahan makam Ki Mansyur di
Cikaduen, Pandeglang.